Translate

Senin, 05 Agustus 2024

Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara.

 Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937

 Dasar Dasar Pendidikan

1.            Arti dan Masksud Pendidikan

Kata  Pendidikan  dan  Pengajaran  itu  seringkali  dipakai  bersama- sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya  yang  dinamakan  pengajaran  (onderwijs)  itu  merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan  cara  memberi  ilmu  atau  berfaedah  buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.

Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding)    pada   umumnya.    Dengan    sengaja    saya    memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai  beragam  jenis  pengertian.  Bisa  dikatakan  bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun  aliran  kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang  berbeda-beda,  cara  mendidiknya juga  tidak  sama.  Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas.

Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat- syarat dan alat-alat dalam  soal  pendidikan,  pendidikan  yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama.

Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam   beragam   jenis   pendidikan   itu,   pendidikan   diartikan   sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.


 2.     Hanya Tuntunan dalam Hidup

Pertama kali harus diingat,  bahwa  pendidikan  itu  hanya  suatu ‘tuntunan’ di  dalam  hidup  tumbuhnya  anak-anak  kita.  Artinya,  bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak  di luar kecakapan  atau kehendak  kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan  yang  ada  dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan- kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.

Uraian     tersebut     akan     lebih     jelas     jika     kita     ambil     contoh perbandingannya dengan  hidup  tumbuh-tumbuhan  seorang  petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun  tumbuhnya  padi,  ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi  dan  lain sebagainya.  Meskipun  pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodrat- iradatnya  padi.  Misalnya  ia  tak  akan  dapat  menjadikan  padi  yang ditanamnya  itu  tumbuh  sebagai  jagung.  Selain  itu,  ia  juga  tidak  dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara  memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki   keadaan   padi   yang   ditanam,   bahkan   ia   dapat   juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya  dapat ‘menuntun’,  akan  tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.


 3.       Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?

Meskpun   pendidikan   itu   hanya   tuntunan   saja   di   dalam   hidup tumbuhnya  anak-anak,  tetapi  perlu  juga  Pendidikan  itu  berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya  setiap  anak.  Andaikata  anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut  perlu mendapatkan  tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan  juga  tidak  mendapat  tuntunan   pendidikan,  tentu  akan  mudah menjadi   orang   jahat.   Anak   yang   sudah   baik   dasarnya   juga   masih memerlukan   tuntunan.   Tidak  saja   dengan   tuntunan   itu   ia   akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas,  akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia  dapat  terlepas  dari  segala  macam  pengaruh jahat.  Tidak   sedikit   anak-anak   yang   baik   dasarnya,   tetapi   karena pengaruh-pengaruh  keadaan  yang  buruk,  kemudian  menjadi  orang-orang jahat.

Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan  itu  ialah  pengaruh  yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran  yang  menghambat  kecerdasan  budi  anak.  Bisa  juga  dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi  luhur  atau  kesucian,  sehingga  anak-anak  mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.

Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.

Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh- kembangnya   tanaman.   Misalnya,   kalau  sebutir  jagung   yang   baik dasarnya  jatuh  pada  tanah  yang  baik,  banyak  air,  dan  mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan  dari  bapak  tani  tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman.  Kalau  tidak  ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air,  maka  biji  jagung  itu  (walaupun  dasarnya  baik),  tidak  akan  dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh  bapak tani, maka biji  itu akan  dapat  tumbuh  lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.


 4.      Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan

Yang dimaksud dengan  istilah  dasar-jiwa yaitu keadaan  jiwa yang asli  menurut  kodratnya  sendiri  dan  belum  dipengaruhi  oleh  keadaan  di luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak  ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga  aliran  yang  berhubungan  dengan  soal  daya  Pendidikan.   Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis,  sehingga  kaum  pendidik  boleh  mengisi  kertas  yang  kosong itu  menurut  kehendaknya.  Artinya,  si  pendidikk  berkuasa  sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori  ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak  diakui  kebenarannya  di  kalangan  kaum  cendikiawan.

Kedua, ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah  ditulisi  sepenuhnya,  sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh- pengaruh  yang  jahat  tidak  mendekati  diri  anak.  Jadi,  aliran  negatif menganggap bahwa  pendidikan  hanya  dapat  menolak  pengaruh- pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak  nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.

Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori  ini  mengajarkan,  bahwa  anak  yang  dilahirkan  itu  diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan  itu suram.  Lebih  lanjut  menurut  aliran  ini, pendidikan  itu  berkewajiban  dan berkuasa  menebalkan  segala  tulisan  yang  suram  dan  yang  berisi   baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung   arti   jahat   hendaknya   dibiarkan,   agar   jangan   sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.

 

5.       Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah

Menurut  convergentie-theorie,  watak  manusia  itu  dibagi  menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang  berhubungan  dengan kecerdasan  angan-angan  atau  pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut  pengaruh pendidikan  atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan  yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.

Yang  disebut  intelligible  yang  dapat  berubah  karena  pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang  baiknya  pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan  sebagainya. Dengan  kata  lain,  keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa  mengenai  perasaan  yang  berjenis-jenis  di  dalam jiwa manusia.  Misalnya,  rasa takut,  ras malu, rasa  kecewa, rasa iri,  rasa egoisme,  rasa  sosial,  rasa  agama,  rasa berani, dan  sebagainya.  Rasa-rasa itu  tetap  pada  di  dalam  jiwa  manusia,  mulai  anak  masih  kecil  hingga menjadi orang dewasa.

Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan  didikan  yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan berubah  menjadi  orang  yang berwatak  pemberani,  hanya  saja  rasa takutnya  itu  tidak  nampak  karena  sudah   mendapatkan   kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk  tidak  takut.  Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang  asli  dimiliki  anak  tersebut. Karena ketakuannya itu hanya tertutup saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang  diserang  rasa  takut  dengan  tiba-tiba.  Keadaan  ini terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri.

Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat  menahan  nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri.

 

6.       Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti

Watak  bologis  dan  tidak  dapat  lenyap  dari  jiwa  manusia  sangat banyak  contohnya. Kita  juga  dapat  melihat  dalam  kehidupan  setiap manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya,  keadaan  dan pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun  demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan  selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan  terhadap fakir  miskin  (ini  pengaruh   pendidikannnya   yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.

Janganlah  pendidik  itu  berputus  asa  kerana   menganggap   tabiat- tabiat yang biologis (hidup perasaan)  itu  tidak  dapat  dilenyapkan  sama sekali.   Memang   benar   kecerdasan  intelligible   (hidup   angan-angan) hanya  dapat  menutupi  tabiat-tabiat  perasaan  yang  tidak   baik,   akan tetapi  harus  diingat  bahwa  dengan  menguasai  diri  (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat  biologis  yang  tidak  baik  itu.  Jadi,  kalau  kecerdasan  budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan  budi pekerti  yang  baik dan  kokoh  sehingga dapat  mewujudkan  kepribadian (persoonlikjkheid)  dan  karakter  (jiwa  yang  berazas  hukum  kebatinan)maka ia  akan  selalu  dapat  mengalahkan  nafsu  dan  tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi.

Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab  itu  berarti  dapat  menguasai diri),  demikian  menurut  pengajaran adat atau etika.

Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan  sebagai bulatnya  jiwa  manusia.  Dalam  bahasa  asing,  disebut sebagai karakter, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan  mudah  membedakan  orang  yang satu dengan yang lainnya.

Budi pekerti, watak, atau karakter  merupakan  hasil  dari  bersatunya gerak pikiran, perasaan,  dan  kehendak  atau  kemauan  sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiran- perasaan-kemauan,  sedangkan   pekerti   artinya   ‘tenaga’.   Jadi   budi pekerti   merupakan   sifat   jiwa   manusia,   mulai   angan-angan   hingga menjelma sebagai tenaga.

Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan   dasar-dasar  yang   jahat   dan   memang   dapat   dihilangkan, maupan  dalam arti  neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.

 

7.      Jenis-Jenis Budi Pekerti

Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis (typen), sehingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara umum.

Pembagian  budi  pekerti  menjadi  beberapa  jenis  tesrbut  berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis). kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang.

Ada   pula   yang   membagi   budi   pekerti   menjadi   beberapa   jenis berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).

Selain dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis  budi pekerti  yang  lain.  Misalnya,  menghubungkan  sifat  jasmani seseorang dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budi- pekerti orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri, atau yang memandang ke arah luar, dan demikianlah seterusnya.

Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendek- tingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.

 

8.      Naluri Pendidikan

Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni  keinginan  dan  kecakapan  tiap-tiap manusia  untuk  mendidik anak-anaknya agar selamat  dan  bahagia. Naluri  atau  instinct  disebabkan pula  oleh  adanya  naluri  yang  pokok  (oerinstinct),  yang  bertujuan  agar terwujudnya  keberlangsungan  keturunan  (ngudhi-tuwuh),  behoud  van  de sort).

Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).

 

9.      Syarat-Syarat Pengetahuan

Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen), yang terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu:

1.        Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie);

2.        Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie);

3.        Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral);

4.        Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika);

5.        Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan)

Untuk memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang ‘juru didik’ dengan tukang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakikat  atau keadaan kayu. Maksudnya, ia harus tahu ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2 diatas).  Pengukir  wajib  mengetahui  jenis  kayu  yang  keras  dan  yang  tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada dua   macam,   yaitu   Ilmu   Jiwa   (psychologie)   dan   Ilmu   Hidup   Jasmani (fysionlogie), seperti tersebut pada no.1 dan no.2  

Seorang  pengukir  kayu  yang  hendak  mewujudkan  pekerjaan  (ukiran- ukiran) yang baik, harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no.3 dan no.4)

Akhirnya, seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang  bagus kalau ia mempunyai pengetahuan tentang  beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.

Dengan mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu memberikan keterangan sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat membuat keterangan sendiri yang panjang, lebar dan terang.

 

10.      Peralatan Pendidikan

Yang dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni cara- cara mendidik. Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut:

1.       Memberi contoh (voorbeld);

2.       Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)

3.       Pengajaran (wulang-wuruk, leering)

4.       Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);

5.       Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);

6.       Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).

Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik dari  pihak  vrije  opvoeding  (Pendidikan bebas),  tidak  suka  memakai  alat nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaan- keadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak didik.

  

11.     Hubungan dengan Umur

Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).

Apabila alat-alat atau cara-cara Pendidikan di  atas  dihubungkan dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara sesuai dengan umur tersebut:

a)   Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;

b)   Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;

c)    Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6.

Tidak ada komentar: