Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937
1.
Arti dan Masksud Pendidikan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersama- sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan
cara memberi ilmu
atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding)
pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas.
Walaupun
bermacam-macam
maksud,
tujuan,
cara,
bentuk, syarat- syarat dan alat-alat
dalam
soal
pendidikan,
pendidikan
yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam
itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama.
Menurut
pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud
Pendidikan yaitu: menuntun segala
kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat.
Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan- kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya
dengan
hidup
tumbuh-tumbuhan
seorang
petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun
tumbuhnya padi, ia dapat
memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman
padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia
tidak dapat mengganti kodrat- iradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman
padi tersebut seperti
hanya cara memelihara
tanaman kedelai atau tanaman lainnya.
Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan
tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil.
Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya
bagi hidup tumbuhnya
anak-anak sangatlah besar.
Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-orang jahat.
Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan
itu
ialah
pengaruh
yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui
kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak
mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.
Menurut ilmu pendidikan, hubungan
antara dasar dan keadaan itu terdapat
adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu
selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.
Mengenai
perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh- kembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari
yang cukup, maka pemeliharaan dari
bapak tani tentu akan menambah
baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan
keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam
dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
Kedua, ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai
sehelai kertas yang sudah
ditulisi
sepenuhnya,
sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin
dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi
dan mengamati supaya pengaruh- pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif menganggap bahwa pendidikan hanya dapat
menolak
pengaruh- pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga,
ialah
aliran
yang
terkenal dengan
nama convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa
menebalkan segala tulisan
yang suram
dan yang berisi
baik, agar kelak nampak sebagai
budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.
5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan
kecerdasan
angan-angan
atau
pikiran (intelek)
serta dapat berubah
menurut pengaruh pendidikan atau keadaan.
Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah
lagi selama hidup.
Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan
pikiran, kebodohan, kurang
baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir
dan sebagainya. Dengan kata
lain, keadaan pikiran,
serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan.
Bagian yang disebut
‘biologis’ yang tak dapat berubah
ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa
sosial, rasa agama,
rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa.
Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri.
Demikian
pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka
ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak
(dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang
asli itu akan muncul dengan sendiri.
6. Perlunya Menguasai
Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang
karena pendidikannya,
keadaan
dan pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai
dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin
(ini
pengaruh pendidikannnya yang baik). Semasa
ia tidak sempat
berpikir, tentulah tabiat
kikir orang tersebut
itu akan selalu kelihatan.
Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan
orang yang memang
berdasar watak dermawan.
Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiat- tabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan), maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi.
Oleh
karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban.
‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika.
Kita
sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta
memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada
setiap manusia, sehingga
kita dapat dengan
mudah membedakan orang
yang satu dengan
yang lainnya.
Budi pekerti,
watak, atau karakter
merupakan hasil dari
bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak
atau
kemauan
sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui
bahwa budi berarti
pikiran- perasaan-kemauan, sedangkan pekerti
artinya
‘tenaga’. Jadi
budi
pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga.
Dengan
adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.
7. Jenis-Jenis Budi Pekerti
Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti
seseorang itu dapat mewujudkan
sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula bahwa tida ada dua
budi pekerti orang yang sama. Jadi,
sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Meskipun,
orang dapat membedakan budi pekerti manusia
menjadi beberapa macam atau jenis (typen),
sehingga orang dapat mempunyai
ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara umum.
Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis). kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang.
Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian
secara global dan etis (etis =
menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger
membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau
econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).
Selain dua macam pembagian
tersebut terdapat pula teori-teori tentang
jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan
sifat jasmani seseorang
dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari
Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budi- pekerti orang dengan melihat cara
seseorang memandang dirinya sendiri sebagai
pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada
pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri,
atau yang memandang
ke arah luar, dan demikianlah seterusnya.
Dalam soal
watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat
pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan
menurunnya sifat-sifat jasmani
dari tiap-tiap orang
(sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendek- tingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa
seperti yang sudah diuraikan
sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.
8. Naluri
Pendidikan
Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort).
Pendidikan
yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang
berganti-ganti dari si pendidik. Dengan
kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar
atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’
belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga
hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).
9. Syarat-Syarat
Pengetahuan
Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu
Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri,
akan tetapi masih
berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen), yang terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu:
1.
Ilmu hidup
batin manusia
(ilmu
jiwa,
psychologie);
2.
Ilmu hidup
jasmani
manusia
(fysiologie);
3.
Ilmu keadaan
atau kesopanan (etika
atau moral);
4.
Ilmu keindahan
atau ketertiban-lahir (estetika);
5.
Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar
cara-cara Pendidikan)
Untuk
memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang
‘juru didik’ dengan tukang pengukir
kayu. Seorang pengukir
kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang
hakikat atau keadaan kayu. Maksudnya, ia harus tahu
ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2 diatas). Pengukir wajib mengetahui
jenis kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran yang
halus atau yang kasar, begitu
seterusnya. Karena pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara manusia mempunyai hidup lahir dan batin,
maka ilmu kemanusiaan itu ada dua macam, yaitu Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani (fysionlogie), seperti tersebut pada no.1 dan no.2.
Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiran- ukiran) yang baik, harus mengerti tentang
keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang
pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin
dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no.3 dan no.4)
Akhirnya,
seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang
bagus kalau ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir lainya,
baik zaman sekarang
maupun zaman dahulu,
di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.
Dengan mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu memberikan keterangan sendiri secara luas,
karena setiap pembaca dapat membuat keterangan sendiri yang panjang,
lebar dan terang.
10. Peralatan Pendidikan
Yang
dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni cara- cara mendidik. Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik
beragam banyaknya, akan tetapi
pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut:
1. Memberi
contoh (voorbeld);
2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
3. Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
4. Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en
tucht);
5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
6. Pengalaman
lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).
Cara-cara
tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali
pendidik menggunakan salah satu cara saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaan- keadaan
tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak
didik.
11. Hubungan dengan Umur
Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).
Apabila alat-alat
atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan
dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara sesuai
dengan umur tersebut:
a) Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;
b) Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;
c) Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar